Tokoh Wanita yang Melebihi Kartini



Tanggal 21 April adalah Hari Kartini sebagai Lambang Emansipasi Wanita di Indonesia. Berawal dari enam tahun setelah Kartini wafat pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich dan edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).


Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.

Guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar mengatakan, “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.
Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.

Berikut ini adalah wanita-wanita muslim sangat luar biasa yang Melebihi R.A. Kartini;

Sultanah Safiatudin (1644-1675) dikenal sebagai sosok yang sangat pintar, sholeha, dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Menguasai 6bahasa yakni Aceh, Melayu, Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita muslim ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.

Rohana Kudus (1884-1972) Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini yang disebarkan secara langsung melalui koran-koran yang terbitkan sendiri dari Sunting Melayu (Koto Gadang), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Jika Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat dan Abendanon lah yang menerbitkan surat-suratnya, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata

Bahkan kalau melirik kisah-kisah wanita-wanita muslim seperti, Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. 

Klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Faktanya mereka adalah wanita-wanita muslim hebat yang turut berjuang mempertahankan negeri dari serangan Belanda. Dan Islam lah yang telah memberikan Emansipasi wanita dalam setiap perjuangan Indonesia. Dan sejarah menutupinya.

Sungguh Islam telah mengajarkan tentang segala hal, termasuk emansipasi wanita dengan cara memuliakannya.

0komentar: