Hasan Al-Banna mengatakan ada 20 Prinsip Ajaran Islam yang harus DIFAHAMI (Al-Fahmu) oleh seorang muslim di antaranya adalah :
1.
Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek
kehidupan. Maka ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan
umat, moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan
undang-undang atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam
atau penghasilan dan kekayaan, serta perjuangan dan dakwah atau pasukan
dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan ibadah
yang benar, tidak kurang tidak lebih.
2. Al Qur'an
dan Sunnah yang suci adalah rujukan setiap muslim dalam mengenali
hukum-hukum Islam. Al Qur'an harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa Arab, tanpa takalluf (memaknakan suatu ayat hingga melampaui arti
yang sewajarnya) dan ta'assuf (serampangan). Sedangkan as Sunnah yang
suci harus dipahami melalui para ahli hadis yang terpercaya.
3.
Keimanan yang murni, ibadah yang benar, dan mujahadah
(bersungguh-sungguh dalam beribadah) adalah cahaya dan kelezatan yang
Allah curahkan pada hati hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sementara
ilham, lintasan pikiran, penemuan-penemuan ghaib (al kasyf), dan mimpi,
itu semua bukan termasuk sumber hukum syariat Islam. Maka semua itu
tidak perlu diperhatikan kecuali bila tidak bertentangan dengan
hukum-hukum agama dan teks-teksnya.
4. Jimat,
jampi (ruqyah), wada' (semacam keong yang dikalungkan di leher anak
kecil sebagai jimat), ramal (meramal nasib dengan membuat garis di
pasir), perdukunan, mengaku tahu akan hal-hal ghaib, dan semisalnya
adalah kemungkaran yang wajib diberantas. Kecuali jimat yang berasal
dari ayat-ayat al Qur'an atau jampi yang diriwayatkan dari Rasulullah
saw.
5. Pendapat imam (pimpinan) dan wakilnya
tentang hal-hal yang tidak ada teks hukumnya, hal-hal yang mengandung
beragam interpretasi, dan hal-hal yang membawa kemaslahatan umum (al
maslahah al mursalah), harus diamalkan sepanjang tidak bertentangan
dengan kaidah-kaidah syariat. Pendapat tersebut mungkin akan berubah
sejalan dengan situasi, adat, atau tradisi.
Pada dasarnya ibadah
adalah kepatuhan total, tanpa mempertimbangkan makna-maknanya. Sedangkan
adat istiadat (urusan selain ibadah ritual) harus mempertimbangkan
rahasia-rahasianya, hikmah, maksud, dan tujuannya.
6.
Setiap orang dapat ditolak ucapannya, kecuali al Ma'shum (Rasulullah
saw). Segala hal yang datang dari para pendahulu -semoga mereka diridhai
Allah- yang sesuai dengan al Qur'an dan as Sunah kita terima. Bila
tidak, maka al Qur'an dan as Sunah lebih utama untuk diikuti. Namun
demikian, kita tidak boleh mencaci maki dan menjelek-jelekkan pribadi
mereka dalam masalah-masalah yang masih diperselisihkan, serahkan saja
kepada niat mereka masing-masing. Sebab mereka telah mendapatkan apa
yang telah mereka kerjakan.
7. Setiap muslim yang
belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu'
(cabang), hendaklah mengikuti salah satu imam (pemimpin agama).
Namun
lebih baik lagi kalau sikap mengikuti tersebut diiringi dengan upaya
semampunya dalam memahami dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya,
dan hendaklah ia mau menerima setiap masukan yang disertai dalil, bila
ia percaya pada keshalihan dan kapasitas orang yang memberi masukan
tersebut. Bila ia termasuk ahli ilmu, maka hendaklah selalu berusaha
menyempurnakan kekurangannya dalam keilmuan, sehingga dapat mencapai
derajat penelaah (mujtahid).
8. Perbedaan paham
dalam masalah-masalah furu' (cabang). hendaklah tidak menjadi faktor
perpecahan dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak juga
kebencian, setiap mujtahid akan mendapatkan pahala masing-masing. Tidak
ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur dalam persoalan-persoalan
khilafiyah (masalah-masalah fiqh yang masih diperselisihkan oleh para
ulama), dalam suasana saling mencintai karena Allah dan tolong menolong
untuk mencapai kebernaran yang sebenarnya. Studi tersebut tidak boleh
menyeret pada debat yang tercela dan fanatik buta.
9.
Memperdalam pembahasan tentang masalah-masalah yang amal tidak dibangun
di atasnya (tidak menghasilkan amal nyata) adalah sikap takalluf
(memaksakan diri) yang dilarang Islam. Misalnya memperluas pembahasan
tentang berbagai hukum bagi masalah-masalah yang tidak benar-benar
terjadi, memperbincangkan makna ayat-ayat al Qur'an yang belum dijangkau
oleh ilmu pengetahuan, perdebatan dalam membandingkan keutamaan sahabat
ra, atau memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Masing-masing memiliki keutamaan sebagai sahabat Nabi saw, dan pahala
dari niat mereka. Sedangkan mentakwil perselisihan mereka dapat
menghindarkan diri dari dosa.
10. Ma'rifah
(mengenal) Allah tabaraka wa ta'ala, meng-Esakan-Nya, dan me-Mahasucikan
Dia adalah setinggi-tingginya tingkatan akidah Islam. Sedangkan
ayat-ayat dan hadis-hadis shahih tentang sifat-sifat Allah adalah
termasuk mutasyabihat. Kita wajib mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa
menta'wilkan dan tanpa pengingkaran (ta'thil) serta tidak perlu
memperuncing perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hal
tersebut. Kita mencukupkan diri seperti apa yang dilakukan oleh
Rasulullah saw dan para wahabatnya, "Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi Rabb kami,'" (Ali Imran: 7)
11.
Segala bentuk bid'ah dalam agama yang tidak mempunyai dasar pijakan,
tetapi dianggap bagus oleh hawa nafsu menusia, baik berupa penambahan
maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib diperangi dan diberantas
dengan menggunakan cara yang sebaik-baiknya, yang tidak menimbulkan
kejelekkan yang lebih parah.
12. Bid'ah idhafiyah
(amalan yang disyariatkan, tanpa ada keterangan tentang tata caranya,
lalu dilakukan dengan cara-cara tertentu), bid'ah tarkiyah (meninggalkan
hal-hal yang di halalkan oleh syariat untuk mendekatkan diri kepada
Allah), dan iltizam (menentukan waktu, tempat, dan jumlah bilangan)
terhadap ibadah-ibadah yang muthlaqah (ibadah yang tidak ditentukan
waktu, tempat, dan bilangannya) adalah masalah khilafiyah dalam bab
fiqh. Masing-masing orang mempunyai pendapat dalam masalah tersebut.
Namun tidak mengapa jika dilakukan penelitian untuk sampai pada
hakikatnya dengan dalil dan argumentasi.
13.
Mencintai orang-orang shalih, menghormati mereka, dan memuji mereka
karena amal-amal baik mereka yang tampak adalah bagian dari taqarrub
kepada Allah swt. Sedangkan para wali adalah orang-orang yang disebut
dalam firman Allah swt, "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka itu
bertakwa." Karamah yang sesuai dengan syarat-syarat syariat itu benar
adanya. Namun harus diyakini bahwa mereka (para wali) -semoga Allah
ridha pada mereka- tidak memiliki mudharat maupun manfaat bagi diri
mereka sendiri, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia,
apalagi bagi orang lain.
14. Ziarah kubur -kubur
siapa saja- adalah sunah yang disyariatkan dengan cara-cara yang
diajarkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, meminta pertolongan kepada
penghuni kubur, -siapapun mereka- berdoa kepadanya, memohon pemenuhan
hajat dari dekat maupun dari jauh, bernazar untuknya, membangun
kuburnya, menghiasinya, memberinya penerangan, dan mengusapnya (untuk
mengalap berkah), juga bersumpah dengan selain Allah swt dan segala
bid'ah yang serupa dengannya adalah dosa besar yang wajib diperangi.
Kitda tidak akan mencari-cari pembenaran terhadap amalan-amalan
tersebut, demi menutup pintu fitnah yang lebih parah lagi.
15.
Berdoa kepada Allah disertai tawassul (perantara) dengan salah satu
makhluk-Nya adalah perbedaan dalam masalah furu' tentang tata cara
berdoa, bukan termasuk masalah akidah.
16. Tradisi
yang salah tidak dapat mengubah hakikat arti lafazh-lafazh dalam
syariat. Kita harus mengkaji lafazh-lafazh syariat sesuai makna yang
dikandungnya dan mencukupkan diri dengannya. Sebagaimana kita juga wajib
berhati-hati terhadap berbagai istilah yang menipu dalam pembahasan
masalah-masalah dunia dan agama. Ibrah (yang dijadikan patokan) itu ada
pada esensi di balik suatu nama, bukan pada nama itu sendiri.
17.
Akidah adalah asas bagi aktivitas, amal hati itu lebih penting daripada
amal anggota badan. Namun upaya mencapai kesempurnaan pada kedua hal
tersebut merupakan tuntutan syariat, meskipun kadar tuntutan
masing-masing berbeda.
18. Islam itu membebaskan
akal pikiran, menganjurkan untuk melakukan penelitian pada alam,
mengangkat derajat ilmu dan para ulama, dan menyambut kehadiran segala
sesuatu yang baik dan bermanfaat. "Hikmah adalah barang hilang milik
orang yang beriman. Di manapun didapatkan, ia adalah orang yang paling
berhak atasnya."
19. Pandangan syar'i dan
pandangan logika memiliki wilayah sendiri-sendiri yang tidak dapat
saling memasuki secara sempurna. Namun demikian, keduanya tidak akan
pernah berbeda dalam hal-hal yang qath'i (absolut). Hakikat ilmiah yang
benar tidak mungkin bertentangan dengan kaidah syariat yang shahih.
Sesuatu yang masih bersifat zhanni (interpretable), harus ditafsiri agar
sejalan dengan qath'i. Bila kedua-duanya bersifat zhanni, maka
pandangan syariat lebih utama untuk diikuti, sampai logika mendapatkan
legalitas kebenarannya, atau gugur sama sekali.
20.
Kita tidak mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua
kalimat syahadat, mengamalkan tuntutan-tuntutannya dan melaksanakan
kewajiban-kewajibannya, baik karena pendapatnya maupun kemaksiatannya,
kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, atau mengingkari sesuatu
yang telah diakui sebagai asas dari agama, atau mendustakan ayat-ayat al
Qur'an yang sudah jelas maknanya, atau mentafsirkannya dengan cara yang
tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau melakukan suatu perbuatan
yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali kekufuran.
0komentar:
Posting Komentar